TIMES PAMEKASAN, PAMEKASAN – Pemanfaatan tanpa terkendali (lost control) terhadap sumber daya alam (SDA) yang merusak dan/atau mencemarkan lingkungan hidup di Indonesia bukanlah rahasia umum. Fenomena tersebut merupakan fakta empiris yang mengundang keprihatinan semua pihak, tidak terkecuali pemerintah sendiri.
Harapan masyarakat Indonesia agar lingkungan hidup bisa terjaga dengan baik bukanlah tanpa dasar, tetapi bagian dari representasi nilai-nilai hubungan manusia dan alam (hablun min al-‘alam) dan juga pengejawantahan dari Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945), tepatnya Pasal 28H.
Kita semua harus menyadari bahwa kita punya hak terhadap lingkungan yang baik, bersih, dan sehat. Hak tersebut bukanlah hak biasa yang senantiasa gugur atau harus digugurkan oleh kepentingan segelintir orang, segelintir pengusaha (corporate), atau sekedar pemenuhan kepentingan program pemerintah yang harus merusak ekologis, tetapi hak tersebut merupakan hak asasi manusia (HAM) aspek lingkungan hidup yang derajatnya hampir sama dengan hak hidup dan mempertahankan kehidupan di nusantara ini.
Kepentingan segelintir orang yang bergerak dalam apsek pertambangan dan pemanfaatan SDA yang melampaui batas (beyond limits) untuk orientasi bisnis dan ekonomi dari dulu sampai sekarang hampir tidak bisa dikendalikan.
Aktifitas bisnis pertambangan dari yang memiliki izin resmi dari pemerintah sampai dengan yang ilegal saat ini hampir bercampur aduk, terutama pertambangan skala kecil di berbagai daerah yang dipastikan dapat mengancam kelestarian alam dan pertahanan ekologis.
Pemerintah sebenarnya sudah berupaya melindungi lingkungan hidup, mulai dari pembentukan perundang-undangan bidang lingkungan hidup dan SDA, evaluasi perizinan tambang, sampai dengan gerakan pencegahan dan penindakan hukum kepada pemilik tambang baik secara individu maupun korporasi.
Namun, usaha tersebut harus menghadapi jalan terjal dan berduri, termasuk menghadapi oknum-oknum pejabat dan oknum aparat penegak hukum yang mem-back up- kepentingan pebisnis tambang tersebut dari tubuh internal pemerintah sendiri.
Pemenuhan Kewajiban Negara untuk Hak Asasi Lingkungan
Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyebutkan: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Kemudian, Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Selanjutnya, Pasal 9 ayat (3) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) menyebutkan: Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Kewajiban pemerintah untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup dengan segala potensi SDA yang ada di dalamnya tidak sekedar karena pemerintah punya legitimasi dan otoritas, tetapi di atas itu semua merupakan kewajiban asasi pemerintah terhadap seluruh masyarakat Indonesia di berbagai belahan nusantara, meliputi daratan (bumi), air (lautan dan sungai), dan udara sebagaimana perlindungan yang tertuang di dalam konstitusi.
Warga negara tentu berhak menagih HAM lingkungan hidup tersebut tentu berdasar kodrat manusia yang lahir, hidup dan mempertahankan kehidupannya sebagai anugerah dari Allah Swt atas kelestarian lingkungan hidup di sekitar tempat tinggalnya, maupun sebagai implementasi dari bunyi norma yang tertuang di dalam konstitusi dan undang-undang turunannya.
Di dalam dasar menimbang huruf b Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan: bahwa kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan.
Dari sini, kita sudah memahami kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun akibat kerusakan dan pencemaran di berbagai daerah Indonesia telah menjustifikasi bahwa hubungan manusia dan lingkungan hidup saat ini sudah tidak baik-baik saja dan berada pada titik kulminasi yang mengkhawatirkan.
Merubah Pola Pikir Antroposentris
Fakta empiris telah memberikan gambaran kepada kita semua tentang memburuknya kondisi lingkungan hidup berpengaruh terhadap hak hidup, kesehatan, pekerjaan, pendidikan, serta HAM lainnya. Di sisi lain, degradasi lingkungan hidup disebabkan oleh aktifitas ekonomi yang sering diikuti serta terkait dengan pelanggaran hak-hak sipil dan politik, termasuk tertutupnya akses publik terhadap informasi, partisipasi publik, kebebasan berbicara dan berkumpul.
Aktifitas pembangunan industri yang memanfaatkan secara tidak terkontrol terhadap SDA telah mengakibatkan dampak negatif terhadap keberlangsungan kehidupan masyarakat, potensi munculnya intimidasi dari pemilik bisnis, oknum aparat penegak hukum dan pejabat pemerintah, serta tekanan psikologis dan rasa ketakutan munculnya bencana alam seperti banjir dan longsor.
Indra Yulianingsih dengan mengutip Garreth Hardyn (2017) menyatakan SDA yang ada di bumi ini merupakan sumber daya yang bebas, dan terbuka untuk siapa saja, serta dapat dimiliki bersama. Di mana pengelolaannya setiap individu dapat mengambil bagian dan akan berusaha memaksimalkan keuntungan.
Pada mulanya, tidak ada aturan yang menghalangi bagi siapapun mengeksploitasi SDA tersebut secara maksimal. Namun, ketika semua orang berupaya memaksimalisasi, maka SDA tersebut menjadi berkurang, bahkan bisa saja akan habis.
Oleh karena itu, perlu adanya pengaturan dalam pengelolaan sumber daya alam, sehingga sumber daya alam yang semula tiada yang memiliki (res nullius), kemudian menjadi milik bersama (res commune), bahkan milik seluruh makhluk Allah Swt yang tidak seorangpun boleh memonopolinya.
Antroposentrisme sebagai paham yang memandang manusia sebagai entitas paling penting dalam sistem kehidupan dan melahirkan paham hak milik (absolute property) yang tidak dapat diganggu gugat telah melahirkan orientasi mutlak terhadap pemanfaatan SDA yang melampaui batas seperti yang kita saksikan di bumi nusantara saat ini, di mana banyak aktifitas pertambangan yang secara kasat mata mengancam kelestarian dan keberlangsungan lingkungan hidup dan kantong-kantong ekologis.
Dengan demikian, sudah sepantasnya antroposentrisme saat ini digeser dan diganti ke arah ekosentrisme atau paham yang lebih bijaksana, lebih manusiawi, dan lebih orientatif terhadap perlindungan lingkungan hidup di masa kini dan juga di masa depan.
Dari paham ini juga nanti akan muncul kepatuhan terhadap hukum yang melindungi lingkungan hidup dan pendekatan ekologi secara holistik, serta prinsip-prinsip dasar yang memandang lingkungan hidup sama pentingnya dengan menjaga kehidupan kita di masa kini dan juga di masa depan. (*)
***
*) Oleh : Ribut Baidi, Advokat dan Dosen Ilmu Hukum Universitas Islam Madura (UIM), Pengurus Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |