https://pamekasan.times.co.id/
Opini

Politik Pemidanaan Perlindungan Korban Kejahatan Lingkungan

Sabtu, 08 November 2025 - 18:46
Politik Pemidanaan Perlindungan Korban Kejahatan Lingkungan Ribut Baidi, Advokat dan Dosen Ilmu Hukum Universitas Islam Madura (UIM), Pengurus Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI).

TIMES PAMEKASAN, PAMEKASAN – Problematika kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup di berbagai wilayah Indonesia terus-menerus terjadi sebagai dampak dari akitifitas pertambangan dan industri dalam skala besar, sedang, maupun kecil. Kerusakan dan pencemaran tersebut menimbulkan rasa takut, khawatir, dan bahkan tekanan psikologis terhadap munculnya banyak bencana, seperti kekeringan, banjir, dan longsor. 

Kejahatan lingkungan hidup adalah perbuatan yang melanggar hukum, perbuatan yang dilarang, dan pelakunya akan dikenai sanksi pidana penjara dan denda sebagai bentuk reaksi, kepastian, dan keadilan penegakan hukum terhadap perbuatan atau tindakan yang dikualifikasi sebagai kejahatan dan melanggar norma moral dan sosial (social ethic) dalam masyarakat, mengancam fondasi sistem pemerintahan, mengabaikan ketertiban umum, mereduksi kesejahteraan sosial (social welfare), dan tidak perduli terhadap keberadaan hak-hak orang lain.

Kewajiban negara terhadap lingkungan hidup dalam wujud perlindungan (proteksi) adalah hal urgen yang dituangkan di dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) yang berbunyi: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. 

Rasio legis dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 mengisyaratkan bahwa hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan salah satu dari hak asasi manusia (HAM) yang harus terpenuhi untuk seluruh masyarakat di Indonesia.

Di samping  itu, pemerintah Indonesia telah membuat Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PLH) sebagai turunannya, meskipun dalam praktiknya UU PLH justru dianggap masih lemah dalam aspek penindakan hukum dan tidak bisa mengakomodir kompleksitas kepentingan korban tindak pidana kejahatan lingkungan hidup yang semakin hari semakin meningkat dari aspek kuantitas maupun kualitasnya.

Mengingat UU PLH dianggap masih lemah dalam penormaannya terutama dari aspek pemidanaan, maka dilakukan perubahan dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) agar pencegahan terhadap munculnya kejahatan lingkungan hidup ataupun penindakan terhadap pelakunya benar-benar sesuai dengan ekspektasi publik.

Politik Pemidaan dalam UU PPLH

Hukum pidana lingkungan hidup merupakan hukum dengan segi norma berkarakter khusus dalam mengatur, melindungi, dan menjamin adanya ketentraman dan keseimbangan terhadap kepentingan publik yang berkaitan dengan lingkungan hidup. 

Pemerintah selaku stackholder yang berkepentingan telah merumuskan kebijakan politik kriminal (criminal policy) melalui undang-undang lingkungan hidup yang beradaptasi dengan jaman, relevan dengan perkembangan kehidupan masyarakat, dan menyesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan hidup saat ini maupun di masa yang akan datang.

Totok Dwi Diantoro (2016) menyatakan bahwa lompatan paradigma yang cukup berarti melalui perubahan dasar hukum lingkungan hidup dari rezim UU PLH menjadi UU PPLH dalam lingkup penegakan hukum pidana, di mana norma pemidanaan dalam UU PPLH tidak lagi semata-mata hanya menggunakan asas 'ultimum remedium', tetapi juga menerapkan asas 'primum remedium' agar efektifitas ketaatan subjek hukum melalui instrumen pemaksa dari aspek pidana benar-benar berjalan.

Dengan keberadaan UU PPLH tersebut, kejahatan lingkungan hidup yang telah banyak merusak ekologis dan ekosistem lingkungan hidup lainnya, serta mengancam kesehatan dan keselamatan masyarakat Indonesia semaksimal mungkin dapat ditekan agar tidak semakin berkembang dan meluas. 

Kebijakan politik kriminal (criminal policy) terhadap pelindungan korban kejahatan lingkungan hidup yang dituangkan di dalam UU PPLH dapat ditemukan di dalam Pasal 97-119 yang bertujuan memberikan perlindungan hukum maksimal agar tercipta kepastian dan keadilan hukum bagi korban maupun keberlangsungan ekologis dan ekosistem lingkungan hidup saat ini maupun di masa depan.

Muladi dengan mengutip Marc Ancel (1995) menyatakan penanggulangan kejahatan salah satunya melalui politik kriminal atau suatu kebijakan rasional untuk menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sarana hukum pidana. Meskipun, penegakan hukum pidana bukan merupakan satu-satunya tumpuan harapan dalam menyelesaikan atau menanggulangi kejahatan secara tuntas. 

Hal tersebut merupakan sesuatu yang wajar karena pada hakikatnya kejahatan adalah 'masalah kemanusiaan' dan 'masalah sosial' yang tidak dapat diatasi semata-mata dengan mengandalkan sarana hukum pidana. 

Sebagai suatu masalah sosial, kejahatan adalah fenomena kemasyarakatan yang dinamis, selalu tumbuh dan terkait dengan fenomena dan struktur kemasyarakatan lainnya yang sangat kompleks (socio-political problem).

Kebijakan Perlindungan Korban

Angkasa (2020) menyatakan perlindungan hukum bagi korban viktimisasi dalam hukum pidana saat ini masih belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, tetapi masih lebih dominan memberikan perlindungan hukum kepada pelaku viktimisasi (offender). 

Fenomena ini setidaknya tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi mayoritas di berbagai negara di dunia sebagaimana diketahui dari berbagai ungkapan-ungkapan yang dinyatakan oleh berbagai viktimolog dari berbagai negara.

Peran pemerintah dalam rangka melindungi masyarakat Indonesia melalui kebijakan politik kriminal (criminal policy) tidak lain agar kehidupan menjadi aman dan damai. Salah satu tolok ukur keberhasilan pemerintah dalam menjalankan sistem pemerintahan adalah terciptanya keamanan dan kedamaian yang berimplikasi terhadap pemenuhan kesejahteraan masyarakat dan kondusifitas perjalanan pemerintahan.

Upaya menekan tingkat kejahatan lingkungan hidup seminimal mungkin oleh pemerintah, tentu juga harus didukung oleh kesadaran masyarakat bahwa menjaga lingkungan hidup merupakan tugas bersama yang tidak boleh dihilangkan. 

Di samping itu juga, harus tercipta pula budaya hukum masyarakat (legal culture) yang disertai komitmen yang kuat untuk membenci perilaku jahat sebagai perilaku yang tidak hanya melanggar hukum negara dan hukum agama, tetapi juga melanggar norma sosial dan etika kehidupan (social ethic).

Oleh sebab itu, perlindungan hukum pidana terhadap korban kejahatan lingkungan hidup harus dilakukan secara maksimal dalam rangka pemenuhan HAM yang sudah tertuang di dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 maupun sebagai langkah konkret-implementatif dalam menjalankan norma pemidanaan sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Pasal 97-119 UU PPLH untuk menjamin dan memastikan bahwa keselamatan dan kesehatan masyarakat Indonesia secara kolektif, terutama terhadap korban (viktimisasi) akibat kejahatan lingkungan hidup tidak hanya tertuang dalam norma secara tekstual, melainkan benar-benar dirasakan manfaat dan keadilannya secara substansial. 

***

*) Oleh : Ribut Baidi, Advokat dan Dosen Ilmu Hukum Universitas Islam Madura (UIM), Pengurus Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Pamekasan just now

Welcome to TIMES Pamekasan

TIMES Pamekasan is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.